- Goresan Hati -

Dalam hidup yang penuh perjuangan, jangan kau jatuh ketika semua beban berada tepat di pundakmu.

Minggu, 03 Juni 2012

Salahku atau Takdirku? - Part 1

Bingung aku mau ceritain cerita ini gimana? Begitu banyak emosi di dalamnya, begitu lah yang aku rasakan ketika membaca dan mendengarkan cerita ini. Kata pengantarku kali ini sedikit saja, karena aku juga tak tahu mesti berkomentar apa? Langsung saja...
                                  ----
Aku bukanlah seorang yang kaya, bukan pula seorang ilmuwan. Aku seorang anak terbuang yang tak pernah tahu arti kasih dan sayang dari kedua orang tuaku. Dulu, mungkin aku pernah merasakannya. Namun itu dulu, jauh sebelum aku mengerti arti kasih dan sayang. Dulu, ketika gigi susu ku pun belum tumbuh. Dulu, saat aku hanya bisa menangis ketika lapar, haus atau ingin buang air. Aku memang anak terbuang. Nyaris tak pernah ada kata bahagia dalam jejak hidupku. Semua begitu sempurna akan tangis dan sakit. Semua begitu hitam dan kelam.
Kelahiranku di dunia ini pun, mungkin tak diinginkan. Aku ada juga bukan karena mau mereka, tapi atas dasar ketidaksengajaan. Itu istilah yang sudah cukup bernilai tinggi untuk kuucapkan. Setiap hari, hanya pertengkaran mereka saja yang aku tahu. Hidup dirumah bagai di neraka! Walau sebenarnya aku pun tak tahu neraka itu bagaimana? Tapi sungguh, aku lebih baik diaborsikan saja ketika masih hitungan minggu dalam rahim seorang wanita yang begitu sulit untuk aku panggil "IBU". Apa yang ada dipikiran meraka berdua untuk melahirkan aku di dunia ini bila aku hanyalah "beban" hidup mereka?
Aku sudah terbiasa dengan semua ini. Justru aku begitu asing dengan kata bahagia. Sungguh. Temanku pun tak jauh dari minum-minuman keras dan obat-obatan terlarang. Mereka "orang tua-ku" tahu? Tidak! Bukan aku merahasiakan ini dari mereka. Bukan pula aku takut akan marahnya mereka. Tapi, mereka memang tidak mau tahu akan hal itu! Pernah suatu hari, aku hampir mati! Yah, mati karena over dosis. Sekali lagi aku tanya padamu, mereka tahu akan hal itu? dan sekali lagi aku jawab, TIDAK! Aku tidak pulang ke rumah berminggu-minggu pun mereka tidak peduli. Tolong, jangan kasihani aku! Karena memang aku tak butuh kasihan darimu, teman. Apa kata kasihan itu dapat memutar waktu?
Andai saja bisa. Aku meminta pada Tuhan untuk tidak dilahirkan di dunia ini. Atau jika memang aku ditakdirkan untuk hidup, biarkan aku terlahir dari rahim wanita lain. Wanita yang mempunyai hati nurani. Biarkan aku terlahir dari kejantanan seorang laki-laki yang bertanggung jawab sebagai "Ayah".
Bagaimana aku menjadi seorang yang baik, bila aku dilahirkan dengan cara yang tidak baik pula? Kekerasan dari mereka berdua sudah begitu kental membekas ditubuh kurusku. Caci maki dan nada tinggi yang keluar sudah begitu hangat menampar wajahku. Aku diam? Tentu saja aku hanya diam. Apalagi yang bisa aku lakukan? Walaupun demikian, mereka tetaplah orang tuaku. Walapun aku tak begitu yakin, mereka masih menganggap aku sebagai anak mereka atau tidak? Bila kau bertanya, apakah aku mencintai mereka? Sungguh, itu pertanyaan yang sangat menyayat hatiku. Aku pun hampir tak tahu apa itu cinta? Hatiku mungkin sudah mati rasa. Cuma 1 rasa yang aku tahu, SAKIT!
Tapi sungguh, aku tak pernah membenci mereka. Aku hanya membenci jalan hidupku. Ini salahku atau takdirku? Entahlah... Hidup dalam kegelapan. Berkejar-kejaran dengan polisi pun aku sudah biasa. Aku hanya bisa berpesan padamu teman. Syukuri hidupmu yang begitu mulia dan begitu berwarna dengan kata bahagia. Hidupmu yang dipenuhi harta dan semua inginmu. Hidup dijalan lurus dengan keluarga yang utuh. Jangan sekali-kali kau membenci orang tua dan keluargamu. Lihat aku, apa kau sanggup menjalani hidup sepertiku? Aku begitu sulit bermimpi dan berangan-angan. Sedangkan kau? Kau sebentar lagi akan menjadi seorang sarjana, teman. Banggalah dirimu dan orang tuamu. Aku akan tetap begini. Hidup menggelandang dengan narkoba dan minuman keras ini. Hidup dalam asap rokok. Aku cuma mempunyai satu mimpi. Membangun rumah tangga dengan suami yang memiliki akhlak untuk mengajakku bertobat. Tapi apa mungkin? Apa masih ada laki-laki yang mau denganku? Rasanya mustahil. "Kau pun mungkin masih sungkan untuk berteman denganku, kan? Sudah, jujur saja. Tak usah memasang muka bersalahmu itu. Aku tahu itu". Mungkin nanti, jika Tuhanku memberikan satu kepercayaan kepadaku untuk membangun sebuah keluarga, aku berjanji aku akan amanah dengan tanggung jawabku sebagai seorang ibu. Aku berjanji mencintai suami dan anak-anakku sepenuh hatiku. Aku berjanji akan menjadi manusia yang lebih baik dari hari ini dan masa laluku. Aku berjanji.
                                      ----
Tak terasa, aku ikut menangis mendengar ceritanya. Aku seorang anak laki-laki yang begitu anti dengan airmata, hari itu meneteskan air mataku. Sebenanrnya, jika dia tak menyela perkataanku dari tadi, aku ingin mengatakan sesuatu kepadanya. Bukan karena bagaimana latarbelakang hidupnya, bukan karena siapa dia dalam dunia gelapnya. Tapi, apa yang tersembunyi di dalam hatinya. Aku tahu, dia memiliki hati yang begitu kuat untuk bertobat. Aku tahu, setiap kata yang dia ucapkan adalah benar dan tulus. Sejujurnya, aku ingin sekali mempersuntingnya menjadi seorang istri. Tapi, aku berpikir hari itu bukanlah hari yang tepat. Aku takut aku menyinggung perasaannya. Aku takut, dia berpikir aku kasihan padanya. Aku sudah beberapa minggu ini sholat malam dan istikharah, dan jawabannya tetap sama. Hatiku begitu mantap untuk memperistri dirinya. Tuhan, tunjukkan aku waktu yang tepat untukku mengatakan niat baikku.
                                      ----


Aku terharu kalo inget cerita ini. Begitu tulus hati laki-laki itu mencintai wanita yang ada dihadapannya. Wanita yang begitu direndahkan oleh keluarganya. Hmm, apakah itu yang dinamakan mencintai lebih dan kurangnya seseorang? Apakah kita sudah sanggup begitu? Insyaallah. . . :)